Rangkaian peristiwa reformasi 1998 saat menjelang Soeharto mundur, tak bisa lepas dari kisah penculikan terhadap para aktivis saat itu.
Dua di antaranya, penculikan terhadap aktivis 1998 bernama Desmond Junaedi Mahesa dan Pius Lustrilanang pada Februari 1998.
Desmond kala itu merupakan aktivis 1998 yang menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN), sementara Pius adalah aktivis Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera).
Hilangnya Desmond dan Pius dilaporkan sejumlah aktivis ke kepolisian pada 10 Februari 1998.
Dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 13 Mei 1998, Desmond mengungkapkan pengalaman penculikan yang dialaminya.
Kesaksian ini disampaikan Desmond pada 12 Mei 1998 didampingi Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Munir, anggota Komnas HAM Albert Hasibuan, Yusuf Pani, dan La Ode Baharsani (DPD Ikadin Banjarmasin).
Desmond mengisahkan, penculikannya berawal pada 3 Februari 1998 di kawasan Cililitan Besar, Jakarta Timur.
Menurut Desmond, pada 3 Februari 1998 pukul 02.30 WIB, kantornya di Jalan Cililitan Kecil didatangi 8-10 orang.
Pagi hari pukul 08.00 WIB, kembali datang orang tak dikenal.
Desmond mengaku tak curiga akan ada yang menimpanya.
“Kemudian, saya keluar kantor naik bus nomor 06 sampai di Kampung Melayu,” kata dia.
“Antara LAI dan GMKI, saya dihadang dua orang yang menodong dengan senjata. Sesudah ditodong, saya bergerak, kacamata saya jatuh, saya sulit mengenali orang. Tetapi ada mobil Suzuki Vitara warna abu-abu di GMKI. Jatuhnya kacamata membuat saya tidak leluasa dapat bergerak karena mata saya minus dan silinder, jadi sulit untuk mengenal orang. Saya diringkus, dimasukkan mobil, kepala saya ditutup seperti tas hitam dan musik diputar keras-keras serta dihimpit dua orang. Sejak itu saya tidak tahu diputar-putar, setelah 50 menit saya sampai di suatu tempat,” papar Desmond.
Desmond mengaku diborgol, matanya ditutup kain hitam.
Selama tiga jam, ia diinterogasi tentang aktivitasnya.
“Setelah itu saya dibawa ke bak air. Setelah sempat disuruh menyelam, saya ditanya lagi soal sikap saya. Setelah selesai, saya dibawa ke sebuah ruangan dengan enam sel. Di situ sudah ada Yani Afri dan Sony, keduanya anak DPD PDI Jakut yang ditangkap Kodim Jakarta Utara soal peledakan bom di Kelapa Gading,” demikian kesaksian Desmond saat itu.
Setelah sehari Desmond ditahan, Pius Lustrilanang masuk dan disusul Haryanto Taslam.
Desmondmengaku mendapat tawaran dari para penculiknya. Ia diminta mengaku bersembunyi di Garut.
Desmond mengajukan skenario lainnya yaitu pergi ke Irian Jaya untuk melakukan penelitian.
Akhirnya, ia diketahui kembali ke rumah orangtuanya di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 3 April 1998.
Kesaksian soal penculikan yang dialaminya ini untuk mengungkapkan hal yang sebenarnya terjadi.
Menurut dia, dirinya dan Pius diculik oleh orang yang punya organisasi rapi.

Selama diculik, Desmond mendapatkan dua buah selimut, celana pendek berwarna biru dan jingga, serta tas berwarna hijau muda.
“Setiap orang yang ditahan diberi celana pendek, ada berwarna biru dan jingga. Selain itu saya juga diberi tas berwarna hijau muda,” kata Desmond.
Terkait siapa penculiknya, Desmond mengaku tak dapat mengidentifikasi karena penglihatannya yang terbatas.
Pada 23 April 1998, Desmond sempat menuturkan, saat diculik ia didatangi 4-5 orang yang mengenakan kacamata hitam.
Peristiwa itu terjadi di depan Kantor GMKI Jakarta.
“Di dalam kendaraan mereka langsung menutup mataku dengan kain hitam sehingga sulit mengenali, baik si penjemput, nomor polisi mobil, ke arah jalan mana dan ke tempat mana yang akan dituju,” kata Desmond.
Ia tak bisa memastikan lokasi penculikannya selama dua bulan.
Demikian pula soal di mana ia ditempatkan, apakah di sebuah rumah, kantor, atau bangunan lainnya.
“Pokoknya sebuah bangunan besar permanen, namun sepi,” kata dia.
Pada malam hari seusai makan malam, Desmond menjalani pemeriksaan secara bergantian.
Saat pemeriksaan, matanya ditutup kain hitam.
Menurut Desmond, pemeriksaan hanya dilakukan pada malam hari hingga dia dibebaskan pada 3 April 1998.
Saat dibebaskan, Desmond dibawa dengan menggunakan mobil. Salah seorang yang membawanya memberikan tiket pesawat Garuda menuju Banjarmasin dengan nama yang tertera pada tiket bukan namanya.
Ia diturunkan sekitar 100 meter sebelum Terminal F Bandara Soekarno Hatta.
Sesampainya di Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, Desmond langsung melaporkan peristiwa yang dialaminya ke Polresta Banjarmasin.
Dua belas hari sebelum mundur dari jabatannya, tepatnya 9 Mei 1998, Presiden Soeharto memutuskan untuk pergi ke Mesir.
Kepergiannya bukan tanpa alasan, ia akan menghadiri pertemuan kepala negara-negara G-15.
Kepergiannya itu sempat menjadi permasalahan, sebab saat itu kondisi menjelang Reformasi sudah menunjukan tanda-tanda yang mengkhawatirkan.
Kepergian kepala negara ke luar negeri di tengah kondisi darurat tentu menimbulkan banyak tanda tanya.
Dikutip dari buku ‘Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto’

Kepergian Pak Harto ke Mesir sempat dicegah oleh sang adik, Probosutedjo.
Probosutedjo yang meminta agar kakaknya itu tak meninggalkan Indonesia.
“Sebetulnya, sebelum Mas Harto berangkat ke Mesir saya sudah berusaha mencegahnya untuk berangkat,” ungkap Probosutedjo
“Karena saat itu sudah tercium gelagat buruk di Jakarta,” sambungnya
Namun, permintaan Probosutedjo ditolak.
Soeharto bersikeras untuk berangkat dengan alasan sudah terlanjur menyanggupi akan hadir di pertemuan kepala negara-negara G-15.
Tak habis akal, Probosutedjo lalu meminta tolong kepada Ketua MPR Harmoko untuk mencegah agar Soeharto tak berangkat.

Saat itu, ia yakin kakaknya akan berpikir ulang untuk berangkat ke Mesir bila yang memintanya adalah Ketua MPR.
Harmoko menyanggupinya dan menjanjikan akan mengatakan hal itu kepada Soeharto pada malam harinya.
“Benar, Harmoko kemudian datang menemui Mas Harto,” ucap Probosutedjo
Pagi harinya, Harmoko menelepon Probosutedjo. Namun justru kabar yang tak diharapkan itu datang.
Harmoko mengungkapkan bahwa ia telah gagal mencegah Soeharto pergi ke Mesir.
Tak hanya itu, Harmoko juga mengatakan kepada Soeharto bahwa Probosutedjo lah yang meminta agar ia tak berangkat ke Mesir.
“Saat itu saya katakan kepada Harmoko, kenapa tidak bilang rakyat yang menginginkan. Harmoko tak menjawab. Maka, pergilah Mas Harto,” tutur Probosutedjo.
Tak dapat dicegah, Soeharto pun tetap berangkat ke Mesir
Namun, kekhawatiran Probosutedjo kemudian terbukti.
Pada 12 Mei 1998, terjadilah peristiwa Trisakti, peristiwa mencekam dan berdarah terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.
Empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang melakukan aksi damai.
Sedangkan korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru.
Menurut Probosutedjo, Tragedi Trisakti sangat mengejutkan. Apalagi dua hari setelah itu terjadi kerusuhan yang besar.
Hari itu pula, Probosutedjo menelepon Soeharto dan menceritakan kondisi di Jakarta.
“Saya akan segera kembali. Tanggal 15 Mei sudah ada di Jakarta,” kata dia menirukan jawaban Pak Harto.
Enam hari pasca menginjakkan kaki di Indonesia, tekanan kepada Soeharto kian dahsyat.
Gerakan mahasiwa menduduki Gedung MPR-DPR menuntut bapak Orde Baru itu lengser.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan diri mundur dari kursi presiden setelah 32 tahun mendudukinya.
Pidato pengunduran diri Soeharto dibacakan di Istana Merdeka sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam pidatonya, Soeharto mengakui bahwa langkah ini dia ambil setelah melihat “perkembangan situasi nasional” saat itu.
Tuntutan rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang, terutama permintaan pergantian kepemimpinan nasional, menjadi alasan utama mundurnya Soeharto.
“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, kamis 21 Mei 1998,” ujar Soeharto, dilansir dari buku Detik-detik yang Menentukan, Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (2006) yang ditulis Bacharuddin Jusuf Habibie.
Dengan pengunduran diri ini, Soeharto menyerahkan kekuasaan kepresidenan kepada Wakil Presiden BJ Habibie.
“Sesuai dengan Pasal 8 UUD ’45, maka Wakil Presiden Republik Indonesia Prof H BJ Habibie yang akan melanjutkan sisa waktu jabatan Presiden Mandataris MPR 1998-2003,” ucap Soeharto.
sumber: surya.co.id
Komentar